Dalam sejarah di Indonesia banyak sekali
pahlawan-pahlawan wanita yang hebat dan luar biasa dalam memperjuangan
emansipasi wanita.
Salah satunya adalah Raden Ayu Kartini. Kenapa harus
Kartini yang menjadi simbol emansipasi wanita padahal masih banyak
pahlawan-pahlawan wanita yang lain yang tidak kalah luar biasanya?
Menurut
penelusuran Guru Besar Universitas Indonesia Prof. Harsja W. Bachtiar,
Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan
sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini
bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.
Harsja menulis tentang kisah ini: “Abendanon
mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini.
Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan
Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan
yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”
Ringkasnya,
Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita
aktivis gerakan Social Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita
Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern,
terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme
H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah
orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.
Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).
Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain
mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan
sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Pada 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda.
Harsja
Bachtriar kemudian mencatat: “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan
terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak
mengenal Kartini, dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana
orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam
tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”
Kartini-Kartini dimasa kini
Masa
telah berganti. Emansipasi wanita yang dulu telah diperjuangkan oleh
R.A. Kartini secara luar biasa itu, kini telah diteruskan oleh
kartini-kartini yang baru.
Kartini-kartini
di abad ini juga telah mengikuti jejak R.A. Kartini. Dulu, Kartini
berjuang untuk mengangkat derajat wanita yang pada masa itu memang
terbelenggu.
Kini, perjuangan itu harus diteruskan oleh
“Kartini-Kartini” yang baru. Mereka itu harus berjuang sesuai
dengan bidang, tugas dan tanggung jawabnya masing-masing, baik
sebagai pejabat negara (Menteri, Anggota DPR, Hakim, Dubes), para
pejabat dan pegawai di segala intansi pemerintah maupun swasta, sebagai
wirausaha, sebagai wartawan, pendidik maupun bidang-bidang lainnya.
Banyak wanita masa kini, termasuk yang telah berumahtangga, ikut aktif
berkerja untuk mengais penghasilan demi kecukupan kebutuhan keluarganya.
Tetapi
jangan dilupakan pentingnya peranan wanita-wanita sebagai Ibu Rumah
Tangga biasa. Mereka itu berjasa secara luar biasa dalam bekerja di
balik layar. Karena peran merekalah para suaminya dapat tenang bekerja
dan bersemangat untuk mendapatkan sebesar-besarnya kecukupan keluarga.
Selain
itu, harus diberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada para ibu
(Istri) secara keseluruhan. Merekalah yang secara aktif terlibat
langsung dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya dengan penuh kasih
sayang. Walaupun mereka tidak pernah mendpatkan penghargaan dan balas
jasa, tetapi mereka tidak pernah mengeluh. Apalagi peran wanita sebagai
ibu yang telah mengandung dan melahirkan anak-anak, karena dari rahim
merekalah lahir generasi penerus yang kelak akan meneruskan perjuangan
yang telah dirintis oleh R.A. Kartini dan pahlawan-pahlawan yang luar
biasa lainnya.
Karena itu, tanggal
21 April seyogyanya tidak sekedar menjadi hari peringatan untuk
mengenang perjuangan R.A. Kartini saja. Marilah kita renungkan, betapa
mulianya perjuangan yang dilakukan oleh R.A. Kartini untuk mendobrak
pagar emansipasi yang kokoh. Tanpa itu mungkin kesetaraan itu tak akan
pernah kita rasakan.
Kartini-Kartini
masa kini perlu memperjuangkan bagaimana kesetaraan jender yang telah
ada saat ini benar-benar dibuktikan dengan karya nyata kaum wanita dalam
mengisi kemerdekaan, dan turut serta membangun serta memperjuangkan
pencapaian kesejahteraan seluruh bangsa Indonesia ini. Itu harus
dilakukan dengan penuh tanggung jawab, kejujuran, dan kepahlawanan
Kartini. (Raso danYL/Asdep PHI/DPOK)
Sumber : SetKab
0 komentar:
Posting Komentar