Kartini --> Image : Wikipedia
“Barang siapa tidak berani, dia tidak bakal menang; itulah semboyanku! Maju! Semua harus dimulai dengan berani! Pemberani-pemberani memenangkan tiga perempat dunia!”
— Kartini via Pramoedya Ananta Toer
Siapa yang
tidak bergetar ketika membaca semboyan seperti itu? Disampaikan dengan
lantang, sebuah gagasan yang memberontak dari seorang gadis yang
terkungkung dalam tembok feodalisme Jawa. Dia adalah Kartini, pejuang
yang memiliki satu senjata: pena.
Ketika membaca buku biografi seorang tokoh, karya dari Pramoedya Ananta Toer ini, saya tidak habis-habisnya bergetar karena bersemangat. Membaca tulisan-tulisan dan surat-surat Kartini kepada kenalannya di luar negeri itu sama asyiknya ketika saya membaca tulisan Epos dari Eiji Yoshikawa. Seru! Waalau hanya catatan sejarah dari sebuah surat, namun rasa tegang dan bersemangat ketika membaca kemasan Pram begitu kuat. Membaca buku itu seolah-olah kita menyelami benar-benar kehidupan dari seorang Kartini. Meskipun buku itu tidak lengkap karena jilidan arsip lanjutannya hilang oleh sistem negara yang berusaha memusnahkan karya-karya Pram, bagi saya, cerita itu sangat kuat menggambarkan kisah hidup Kartini dan perjuangannya.
Cover Buku "Panggil Aku Kartini Saja"
Dulu, saya hanya mengenal Kartini dari
sebuah gambar diri yang dipajang dalam kelas (ketika masih duduk di
bangku sekolah dasar). Waktu itu, saya berpikir bahwa Kartini mungkin
bisa berjuang karena dia adalah keturunan raja, dan wajar saja
mendapatkan pendidikan yang layak sehingga menjadi pintar. Jadi, saya
sempat memandang sinis kepada pahlawan Kartini, waktu kecil dulu. Akan
tetapi, ketika saya membaca sejarah kehidupannya, ternyata sangat
menyedihkan. Dia memang keturunan raja, tetapi tetap saja dia mengalami
hambatan dalam mengembangkan bakatnya. Karena apa? Kekuasaan feodal Jawa
pada saat itu, yang mewajibkan seorang putri ayu untuk dipingit dan
dipersiapkan untuk menjadi tuan putri, dan tidak bisa ke mana-mana
selain di dala istana. Karena sistem yang seperti itu, Kartini susah
untuk bergerak. Padahal, dia adalah seorang tokoh wanita yang memiliki
jiwa suci dan hati yang tulus dalam memberantas kebodohan yang ada di
kehidupan rakyatnya. Dia ingin maju, ingin rakyatnya maju, tidak begitu
saja mau ditindas oleh orang-orang kulit putih. Sedih, sungguh sangat
sedih menyimak kisah hidup pahlawan kita yang satu ini.
Namun, tembok-tembok istana tidak menjadi
penghalang Kartini untuk berjuang. Dia masih punya kekuatan dan
senjata. Dia memiliki pemikiran yang cemerlang, jenius, dan mempiliki
pena dan kertas untuk menyalurkan pemikirannya. Dengan
tulisan-tulisannya itu, Kartini memberikan gebrakan untuk kemajuan
negerinya. Melalui surat-suratnya, Kartini menjelajahi dunia,
hubungannya dengan teman-teman pena yang ada di luar negeri, memberikan
bag Kartini untuk memesan buku dan belajar secara otodidak. Akan tetapi
sayang, karena keterbatasannya itu, lagi-lagi Kartini menjadi korban
dari kelicikan orang Belanda. Tanpa sadar, di penghujung hidupnya,
Kartini menjadi korban dalam permainan Belanda (begitulah analisa saya
setelah membaca buku Pram yang tidak lengkap itu).
Kartini bisa menjadi contoh teladan bagi
kita semua, terutama wanita. Hatinya sungguh begitu besar dan sangat
rendah hati. Saya begitu merasa kagum ketika membaca cuplikan cerita
yang mengisahkan Kartini menulis surat yang menyatakan keinginannya
untuk menyerahkan beasiswa yang ia dapat kepada seorang pemuda
perantauan, yang nantinya dikenal sebagai Agus Salim, karena dia tidak
mendapatkan izin dari ayahnya untuk meneruskan pendidikan. Kartini tidak
pernah marah. Dia tahu, dia tidak bisa terus melangkah di jenjang
pendidikan karena sistem yang ada di lingkungannya. Apa daya, dia tidak
bisa melawan, bukan karena sistem itu yang begitu kuat, melainkan karena
kecintaannya yang begitu tinggi kepada ayahnya.
Satu hal lagi, yang membuat saya begitu
jatuh hati dengan Kartini adalah, pernyataannya berikut (kalimat utuh
dari semboyan di atas) :
“Aku yang tiada mempelajari sesuatupun, tak tahu sesuatupun, berani-beraninya hendak ceburkan diri ke gelanggang sastra! Tapi bagaimanapun, biar kau tertawakan aku, dan aku tahu kau tak berbuat begitu, gagasan ini tak akan kulepas dari genggamanku. Memang ini pekerjaan rumit; tapi barang siapa tidak berani, dia tidak bakal menang; itulah semboyanku! Maju! Semua harus dilakukan dan dimulai dengan berani! Pemberani-pemberani memenangkan tiga perempat dunia!”— Kartini via Pramoedya Ananta Toer
Buku ini sangat baik dan mudah dicerna. Pram mengemasnya dengan apik, dan ada banyak catatan kaki sehingga kita tidak bingung dengan catata sejarah yang disajikan. Saya menyarankan buku bacaan ini kepada siapapun yang ingin tahu sejarah, yang mencari sosok figur teladan, dan kepada yang ingin maju dan berani!
Sumber : Manshurzikri
0 komentar:
Posting Komentar