You Are Reading

0

Spirit Religiositas Perjuangan Kartini

Sepuluh Tiga™ Minggu, 22 April 2012


Menarik sekali meyimak perjuangan RA Kartini dalam upaya mengangkat derajat perempuan bumiputera. Perjuangan putri Bupati Jepara ini lebih diorientasikan kepada perbaikan nasib kaum Hawa sehingga menjadikannya lebih dikenal sebagai pendekar emansipasi perempuan.
Akibatnya, stigma sebagai pelopor pembebasan perempuan dari kemapanan dominasi dan subordinasi kaum Adam dialamatkan kepadanya. Ada tiga hal yang menjadi titik berat perjuangan Kartini. Pertama, masalah emansipasi perempuan, khususnya melawan adat dan ajaran-ajaran feodalisme, di mana perempuan tidak lebih sebagai properti.

Kedua, masalah pentingnya pendidikan di kalangan masyarakat, di mana diskriminasi untuk memperoleh pendidikan dialami oleh masyarakat miskin dan perempuan. Ketiga, buruknya kehidupan rakyat yang disebabkan oleh bermacam-macam hal, salah satunya adalah kondisi kesehatan.

Di balik perjuangannya, ada fakta menarik yang nyaris tidak terungkap, yaitu spirit religiositas yang menjadi roh perjuangan Kartini. Selama ini orang lebih mengenal perjuangan Kartini hanya sebatas perjuangan antikemapanan terhadap ajaran tradisi dan belenggu adat yang feodalistis.

Bahkan, tidak sedikit yang mendistorsi perjuangan Kartini sebagai pemberontakan terhadap kemapanan laki-laki. Orang cenderung menempatkan Kartini face to face dengan kaum Adam yang merasa terancam dengan sepak terjang gerakan perempuan.

Padahal, orientasi gerakan Kartini adalah berusaha menempatkan perempuan bukan sebagai kanca wingking seperti doktrin budaya feodal maupun upaya ”pembonsaian” yang dilakukan kolonialis Belanda melalui peraturan diskriminatif yang membatasi ruang gerak perempuan terutama dalam mengenyam pendidikan.

Kartini berkeyakinan bahwa perempuan punya pengaruh yang besar sekali. Dengan demikian, perempuan harus lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam  kepada perempuan, yaitu menjadi ibu pendidik manusia yang pertama-tama.

Jelas, Kartini menginginkan nasib perempuan menjadi lebih baik. Perubahan yang harus diraih perempuan itu dalam pandagangan Kartini tidak perlu sampai mencerabut dirinya dari akar kodrat sebagai perempuan. Inilah yang membedakan Kartini dengan perjuangan kelompok feminis liberal yang memaknai perempuan mempunyai kebebasan secara penuh dan individual, yang berakar pada rasionalitas dan distingsi antara dunia privat dan publik.

Kartini juga tidak berkeinginan mengkritik pola keagamaan masyarakat. Justru sebaliknya, ia berangkat dari kesadaran beragama untuk membuat perubahan terhadap tradisi masyarakat yang gelap menuju peradaban yang tercerahkan. Religiositas Kartini terasah sejak kecil. Benih ini mengalir dari sang kakek, Kiai Modimoro, seorang guru mengaji di daerah Telukawur, Jepara. Kartini rajin belajar ilmu agama sejak kecil dan mengikuti pengajian bersama ayahnya.

Pengaruh religiositas ini melekat dalam diri Kartini dan termuat dalam suratnya kepada kenalannya bernama Estelle Zeehandelaar yang akrab dia sapa dengan nama Stella, seperti dalam salah satu alinea suratnya yang berbunyi:…aku juga setia mengunjungi masjid, tetapi tanpa mengerti isi khotbah bahasa Arab. Aku juga punya kitab suci Alquran dan aku setia membacanya namun tak mengerti artinya…., pelipur lara dan pendekatan jiwa kepada Allah.

Meski memiliki kendala bahasa, semangat religiositas Kartini tidak memudar. Hingga suatu hari ia menghadiri pengajian untuk para bupati seluruh Jawa di Demak yang materinya adalah tafsir QS Al-Fatihah yang disampaikan oleh Kiai Sholeh bin Umar as-Samarani.

Kesempatan ini dimanfaatkan Kartini untuk berdialog dengan sang kiai dan pada prinsipnya mengusulkan untuk menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Jawa.
Akhirnya permintaan itu dikabulkan oleh sang kiai. Pada saat pernikahan Kartini, Kiai Sholeh baru menyelesaikan 13 juz dan memberikannya sebagai hadiah perkawinan. Namun sayang, sebelum seluruh terjemahan Alquran selesai Kiai Sholeh wafat.

Menuju Cahaya
Jika dicermati perjalan perjuangan hidup Kartini yang terangkum dalam Habis Gelap Terbitlah Terang, dari gelap menuju cahaya,  menggambarkan inspirasi religius perjuangan Kartini. Sepertinya Kartini terinspirasi betul oleh firman Allah dalam QS Al-Baqarah: 257 yang berbunyi: Allahumma akhrijnii min al-dzulumati ila al-nuur, yang artinya,”Ya Allah keluarkanlah aku dari kegelapan menuju cahaya yang benderang”.

Inspirasi gerakan Kartini ini juga pernah dijadikan Aloys Budi Purnomo sebagai inspirasi judul artikelnya di koran ini, edisi 5 April, dalam rangka renungan perayaan Paskah, dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Tetapi karena topik yang diangkat Aloys Budi Purnomo berasal dari terjemahan yang mengalami distorsi sebelumnya, sehingga analisisnya kurang tepat dan terasa jauh panggang dari api.

Perjuangan Kartini belum selesai dan masih dalam proses menuju pencerahan. Kartini telah tiada dan selayaknya generasi sekarang siap menerima estafet melanjutkan perjuangan itu. Tentu perjuangan yang dilakukan tidak mendistorsi orientasi perjuangan yang diinginkan Kartini. Bukan simbolisasi perjuangan kaum perempuan melawan kaum pria. Melainkan perjuangan yang menyinergikan kiprah putra dan putri Indonesia membebaskan bangsanya dari belenggu kegelapan.

Bangsa ini masih dalam pusaran kegelapan. Ketergantungan kepada bangsa lain masih tinggi. Ketimpangan pembangunan dan diskriminasi sosial, pendidikan, kesehatan secara nyata terjadi di hampir seluruh pelosok negeri. Degradasi moral bangsa kian tak terbendung. Korupsi semakin merajalela. Sungguh bangsa ini masih berada dalam cengkeraman kegelapan yang sangat pekat.
Optimisme keluar dari kegelapan ini harus tetap dikobarkan. Asalkan ada komitmen dan kerja keras bersama dari anak bangsa untuk melakukan pencerahan dan membebaskan bangsanya dari keterpurukan, terang pasti akan teraih. Kesadaran bersama untuk membangun bangsa dengan mencurahkan segenap kemampuan yang dimiliki.

Memiliki semangat patriotisme tinggi dan menghidupkan semangat kemandirian sekaligus mengeliminasi ketergantungan kepada bangsa lain dalam mengeksplorasi kekayaan alam adalah jalan menuju cahaya. Serta yang tidak boleh ketinggalan adalah peningkatan mutu intelektual dan pengembangan moral yang luhur yang akan menjadikan pembangunan berjalan adil dan jujur. Dengan demikian, harapan untuk mengeluarkan bangsa ini dari kegelapan akan terealisasi dengan baik.

Sumber : Solopos

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2012 Sepuluh Tiga™